Ngrembes: Pameran Arsip 17 Tahun Anstardam

Perkumpulan Anak Sekitar Dam (Anstardam) muncul secara natural bersamaan dengan terbangunnya danau buatan milik Kebun Binatang Ragunan di dataran rendah sekitar Gang Haji Namun, Jagakarsa, Jakarta Selatan pada tahun 2006. Waktu itu, sisa tanah urug proyek terbengkalai menggunung di sekitar permukiman warga. Sekumpulan pemuda yang berteman sejak kecil lalu meratakannya untuk lapangan sepak bola. Dari situ, Anstardam terus tumbuh sebagai kolektif beranggotakan warga sekitar. Bermula dari format tim sepak bola, lambat laun mereka berkembang menjadi himpunan pecinta alam yang kini disebut sebagai Himpala Anstardam.

Hubungan lintas generasi anak-anak Anstardam terbentuk dari interaksi sehari-hari di ruang-ruang intim sekitar gang. Seban, serambi depan rumah warga, milik (alm.) Abah Madrais bin Haji Sarmali, jadi base camp tongkrongan Anstardam. Karena masih dalam jangkauan kontrol sosial tetangga, tempat itu dipercaya para orang tua sebagai ruang aman untuk anak-anak. Anstardam bahkan dipercaya generasi tua mengorganisir banyak aktivitas di luar struktur formal RT, seperti liga sepak bola antar kampung, perayaan 17-an, produksi merchandise, kompetisi layangan, tur wisata warga dan aktivitas sosial kemanusiaan.


Anak-anak Anstardam tidak hanya mengalami perubahan lanskap lingkungan Jalan Durian dari tahun ke tahun, tetapi juga turut aktif memproduksi ruang publik alternastif. Mereka menyaksikan empang-empang yang diurug, kebun-kebun yang menjadi rumah, jalan tanah yang berganti aspal. Beberapa kali akses menuju lahan lapangan dan dam ditutup tembok pembatas oleh pihak pemilik lahan. Tetapi, di mana ada pembatas, di situ ada jebolan. Tembok-tembok itu mereka lubangi agi. Dengan begitu, warga punya akses ke “ruang publik” lapangan, dam, dan akses jalan yang lebih efisien ke lingkungan sekitar.

Belakangan, banjir merendam kampung setiap kali hujan deras karena area resapan semakin berkurang. Air tidak hanya meluber dari kali, tetapi ngrembes dari bawah lantai rumah. Meski demikian, bagi anak-anak Anstardam, banjir selalu menjadi perekat solidaritas sosial, menjadi momen ketika sesama tetangga saling bantu. Dari solidaritas di kampung sendiri, lambat laun Anstardam bergerak menjalankan misi kemanusiaan setiap ada bencana di tempat lain. Ngrembes barangkali jadi perumpamaan yang tepat untuk menggambarkan praktik kolektif Anstardam. Solidaritas sosial mereka ngrembes seperti air, dari generasi ke generasi, dari gang kampung ke tembok batas dam, dari lanskap alami Jagakarsa ke lanskap alam lainnya. Praktik kolektif yang organik dan bermula dari kesadaran sosial sehari-hari semacam ini mungkin jarang kita temui lagi di dalam lingkungan kota saat ini yang semakin individualistis dan materialistis.

Pameran ini menampilkan arsip-arsip perjalanan 17 tahun Anstardam lewat koleksi arsip foto, poster, ingatan warga, dan objek-objek yang diproduksi Anstardam sepanjang perjalanan berkolektif. Foto-foto lama sebagian besar dirawat dengan baik oleh keluarga Ibu Manih dan (alm.) Abah Madrais bin Haji Sarmali. Beberapa foto diambil oleh anak-anak mereka, sebagian lainnya diambil oleh beberapa tukang foto keliling yang bersepeda ontel membawa “kodak” dari kampung ke kampung di awal 2000-an. Selain koleksi lawas, foto-foto dan poster kegiatan terbaru diambil dari media sosial Himpala Anstardam yang kini dikelola oleh generasi termuda mereka. Kumpulan arsip dan objek tersebut kemudian diinterpretasikan ulang oleh anak-anak Anstardam, berkolaborasi dengan seniman dari Gudskul Ekosistem.


Kolaborator Pameran

Satria (Manyun)
Satriyawan (Awenk)
Ridwan (Lontong)
Sahrul (Alunk)
Wildan (Dancok)
Hengki (Olenk)
Soemantri Gelar
Degi Bintoro
Angga Cipta
Rifandi Nugroho