Anak Sekitar Dam (Anstardam) adalah kelompok pemuda dari sekitar
Gang Haji Namun, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Lokasi tongkrongan mereka berjarak
kurang lebih 200 meter dari Gudskul. Pada tahun 2006, Kebun Binatang Ragunan
membangun danau buatan di lingkungan kampung mereka dan menyisakan tanah sisa
galian yang terbengkalai menggunung. Pemuda setempat kemudian meratakannya
untuk bermain sepak bola. Bermula dari tim bola, lambat laun Anstardam punya
banyak divisi baru, seperti tim futsal, layangan, produksi, dan Himpunan
Pecinta Alam (Himpala) yang tidak hanya hobi naik gunung, tetapi juga aktif
menyelenggarakan kegiatan sosial kemanusiaan.
Pada Januari lalu, Anstardam menggelar pameran arsip 17 tahun perjalanan komunitas mereka, berkolaborasi dengan seniman dan peneliti dari Gudskul Ekosistem. Arsip-arsip yang ditampilkan terdiri dari foto, poster, dan objek artefak produksi kolektif. Sebagian besar foto lawas bersumber dari koleksi keluarga Ibu Manih dan (alm.) Abah Madrais bin Haji Samali, orang tua dari salah satu pendiri Anstardam. Olahan visual seperti film dan karya grafis juga ditampilkan untuk menginterpretasikan narasi yang ada di arsip
Dari kolaborasi singkat itu, saya belajar bahwa arsip komunitas
warga punya banyak potensi untuk tidak hanya menarasikan komunitasnya sendiri,
tetapi juga menggambarkan sejarah sosial warga, budaya populer, dan perubahan tipologi
ruang sekitar Jagakarsa yang belum banyak tertulis di buku sejarah. Selain
bernilai sebagai sumber informasi, arsip komunitas warga juga bisa menjadi
media pewaris ingatan antar keluarga dalam lingkungan tempat tinggal. Arsip-arsip
itu juga mendekatkan hubungan antar generasi yang sebelumnya terpisahkan karena
kepindahan, kematian, atau perpisahan lainnya.
Sebagai contoh, dari sekian tangkapan momen berkumpul warga di rumah Ibu Manih, tampak aktivitas sehari-hari seperti nongkrong, rapat warga, atau perdagangan di teras rumah. Jika diamati lebih jauh, foto-foto tersebut menujukan jejak tipologi rumah warga sekitar Gang Haji Namun yang dulunya punya seban (serambi depan) sebagai area semi publik, mirip seperti rumah Si Doel Anak Betawi. Menurut Ibu Manih, seban rumahnya dulu jadi tempat nongkrong favorit warga sekitar karena cukup lega dan punya pemandangan sekitar yang masih alami. Seiring bertambahnya penduduk, sekarang pemandangannya tertutup dinding rumah tetangga, seban rumah pun menyempit karena dibangun kamar tambahan.
Contoh foto lain adalah potret kegiatan warga dengan latar dam
yang baru terbangun. Sekilas, foto itu menampilkan keriuhan warga merayakan “ruang
publik” sekitar dam yang baru, seperti berdagang, bermain bola, dan menggelar perlombaan
17 Agustus. Di sisi lain, kehadiran dam mungkin juga jadi penanda bahwa Gang Haji
Namun secara alami berada di dataran rendah, tempat air dari lingkungan sekitar
mengalir ke sana. Pembangunan mengubah sebagian lanskap Jagakarsa secara
signifikan, dari yang semula mengandalkan resapan alami menjadi waduk buatan.
Anak-anak Anstardam tidak hanya mengalami perubahan ruang sekitar Jalan Durian dari tahun ke tahun, tetapi juga turut aktif memproduksi ruang publik alternatif di era awal pasca reformasi. Mereka menyaksikan empang-empang yang diurug, kebun-kebun yang menjadi rumah, jalan tanah yang berganti aspal. Beberapa kali akses menuju lahan lapangan dan dam ditutup tembok pembatas oleh pihak pemilik lahan. Tetapi, di mana ada pembatas, di situ ada jebolan. Tembok-tembok itu mereka lubangi lagi. Dengan begitu, warga punya akses ke lapangan, dam, dan akses jalan yang lebih efisien ke lingkungan sekitar. Ruang yang diprivatisasi kembali dibongkar untuk publik.
Selain yang tampak di dalam foto, bagaimana foto diambil juga
menarik untuk ditelusuri. Karen Strassler (2010) dalam penelusuran budaya
dokumentasi di Jawa mencatat, kesadaran “dokumentasi keluarga”, foto “kenang-kenangan“,
atau “dokumentasi sejarah” begitu merebak di Jawa di era pasca reformasi,
meskipun masih dihantui oleh lemahnya kesadaran nilai arsip sebagai dokumen
publik oleh negara. Upaya dokumentasi yang demokratik mulai menggeser praktik
dokumentasi yang sebelumnya dipakai sebagai alat perpanjangan kontrol dari negara
di masa Orde Baru.
Dengan “tustel” 35mm yang menjamur di awal tahun 2000-an, anak-anak Ibu Manih rajin mengabadikan momen bersama teman-teman dan warga di lingkungan sekitar. Selain itu, foto-foto lain juga didapat dari hasil jepretan tukang foto bersepeda ontel keliling kampung yang membawa kodak. Setiap foto yang diambil tukang foto keliling akan selesai cetak satu minggu setelahnya. Cerita ini meruntuhkan pemahaman saya bahwa fotografi hanya bisa diakses kelas elit perkotaan. Baik foto hasil jepretan sendiri maupun tukang foto keliling, keduanya menunjukan bahwa kesadaran dokumentasi yang demokratis dipraktikan pula oleh warga di lingkungan gang-gang kampung Jagakarsa.
Pengalaman bekerja dengan arsip dokumentasi warga membantu
saya untuk menyusuri cerita dengan lebih cair dan organik. Arsip-arsip itu
tidak hanya menyampaikan nilai informasi, tetapi juga mendekatkan kami sebagai kolaborator
warga dengan subjek-subjek yang tinggal di sekitar dam. Pengalaman yang lebih “canggung”
tentu akan saya dapatkan ketika membawa data informasi atau visual dari luar. Di
situ lah nilai kekuatan dari arsip komunitas warga, tidak hanya berfungsi
sebagai alat penggali informasi, tetapi juga menjadi medium mendekatkan hubungan
sosial yang sebelumnya berjarak.
Saya jadi membayangkan bagaimana si tukang foto keliling berinteraksi dengan warga yang ia abadikan di setiap gang. Mungkin saja ia punya ikatan sosial yang cukup kuat dengan ruang, tempat, orang, tokoh yang ia temui. Lapisan afektif dari arsip semacam itu barangkali tidak muncul dari praktik pendokumentasian yang dilakukan oleh para fotografer kehidupan warga kota di masa lalu, seperti Ceypas, Tillema, atau M. Ali di era kolonial. Narasi tentang ruang-ruang gang yang intim, tembok yang bolong, tanah yang diratakan, mungkin juga tidak bisa tertangkap di dalam caption arsip-arsip institusional. Berkolaborasi dengan warga dalam membaca arsip mereka memungkinkan kita mendapatkan pengetahuan baru sekaligus teman atau saudara baru.